loading…
Diskusi Panel bertajuk Jaksa sebagai Pengendali Perkara Dalam Perspektif UU No 1 Tahun 2023 (KUHP Baru) yang digelar Fakultas Hukum UI, Kamis 20 Februari 2025. Foto/Dok. SINDOnews
Untuk diketahui, istilah dominus litis menegaskan peran jaksa sebagai otoritas utama dalam mengendalikan perkara. Mulai dari pengawasan penyidikan hingga penuntutan di pengadilan.
“Konsep dominus litis yang diterapkan di banyak negara dengan sistem civil law harus semakin diperkuat di Indonesia. Dengan peran jaksa sebagai pengendali perkara, maka penegakan hukum bisa lebih efektif dan tidak terjebak dalam bolak-baliknya berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum yang selama ini sering terjadi,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Junaedi dalam keterangan pers yang diterima, Senin (24/02/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan Junaedi dalam Diskusi Panel bertajuk Jaksa sebagai Pengendali Perkara Dalam Perspektif UU No 1 Tahun 2023 (KUHP Baru) yang digelar Fakultas Hukum UI, Kamis 20 Februari 2025. Selain Junaedi, narasumber lain yang turut hadir dalam diskusi ini yaitu dosen Hukum Acara FH UI Febby Mutiara dan Choky R Ramadhan.
Sementara Choky Ramadhan menjelaskan hubungan antara penyidik dan jaksa di Indonesia masih lemah, terutama dalam tahap penyelidikan dan penyidikan awal. Hal ini diperparah dengan tidak konsistennya pelaksanaan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang seharusnya dikirimkan oleh penyidik kepada penuntut umum.
Ia menuturkan, menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 130/PUU-XIII/2015, SPDP wajib dikirim paling lambat 7 hari sejak penyidikan dimulai. Namun, dalam praktiknya, jaksa sering kali tidak menerima pemberitahuan ini yang menyebabkan keterlambatan dalam supervisi terhadap penyidikan dan memperpanjang waktu penanganan perkara.
“Kurangnya koordinasi ini mengakibatkan banyak perkara yang tidak terselesaikan secara efektif. Di negara-negara lain seperti Perancis dan Belanda, jaksa memiliki kontrol lebih besar terhadap penyidikan untuk memastikan kelengkapan berkas sebelum dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini perlu kita adopsi dalam sistem hukum kita,” jelasnya.
Sedangkan Febby Mutiara berpendapat, salah satu masalah terbesar dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah fenomena bolak-baliknya berkas perkara antara penyidik dan jaksa. Proses ini sering kali menghambat efisiensi peradilan dan memperpanjang waktu penyelesaian perkara.
“Di beberapa negara, jaksa tidak hanya sekadar menerima berkas perkara dari penyidik, tetapi juga berhak memberikan arahan penyidikan kepada polisi. Hal ini memungkinkan kasus dapat ditangani lebih cepat tanpa perlu berkali-kali mengembalikan berkas karena tidak lengkap,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa KUHP Nasional (UU No 1 Tahun 2023) semakin memperkuat peran jaksa dalam pengawasan proses peradilan. Pasal 132 KUHP Nasional secara eksplisit menyebutkan bahwa penuntutan merupakan bagian dari proses peradilan yang dimulai sejak tahap penyidikan, menandakan bahwa jaksa memiliki peran aktif dalam memastikan kelengkapan suatu perkara sebelum diajukan ke pengadilan.